Seperti Orang Jakarta

Jadi ceritanya (eh kenyataannya deng ya? Wkwk), saya kembali ke Jakarta setelah 6 tahun menjadi penghuni Yogyakarta dengan status mahasiswa. Dan kembali ke Jakarta untuk menjadi penghuninya lagi rasanya... jet lag.

Kalem-kalem gini (?), saya termasuk anak kelayapan, juga anak jajan. Waktu di Jogja, ada banyak teman yang bisa saya ajak ngobrol macem-macem, saya ajak main, saya ajak makan, saya curhatin ini-itu, kumpul-kumpul, dan juga ngajak saya kemana-mana. Kalau lapar, pilihan makanannya ada banyak. Ayam preksu, lotek pandega, mang kobis dengan minyak kaya rasanya, bale bebakaran, roti bakar depan gading mas (sekarang di belakang dunkin), capcay deket NB, somay kang cepot, dan sebagainya.

Hayooo jadi mau kan? Wkwkwk.

Kalau di Jakarta, ibu negara sudah masak di rumah. Dan sebagai anak yang berbakti, masa mamak sudah masak cape-cape kita makan belinya soto mie, yekan? Sebenarnya, ada banyak teman dari jogja yang merantau atau pulang ke Jakarta juga sih, tapi kebanyakan punya kesibukan masing-masing. Dan kesibukan itu antara lain adalah kerja aka jadi pegawai.

Termasuk saya. Baru dua hari sih, wkwk #karyawannewbie

Hmm... Kerja dua hari ini membuat saya merasa... "Hoo, begini toh rasanya jadi pegawai."
Wkwkwk, pardon me untuk ke-norak-an saya ini. Tapi bener deh, dua hari bekerja ini membuat saya mengerti kenapa ada lagunya Maudy Ayunda yang judulnya Jakarta Ramai. Monggo cek video clipnya buat yang belum lihat (bukan endorse ya sis). Terus, saya juga jadi lebih memaknai meme-meme yang tulisannya "me trying escape from my responsibilities" like this


Kehidupan koas mungkin memang melelahkan, tapi status sebagai mahasiswa membuat rasa capeknya tercover dengan perasaan, "ngga papa, kalau salah, masih koas ini". Sebuah excuse tidak tahu diri, mohon jangan ditiru. Mungkin ini kali ya yang membuat anak kedokteran yang ngga pernah ngaspen ataupun ngasdos dan sebagainya seperti saya merasa jetlag dengan kehidupan baru setelah koas. Waktu teman-teman seumuran saya gini sudah terbiasa dengan bekerja dan menjadi pegawai, saya masih beradaptasi dengan kehidupan baru ini, mencari uang sendiri demi sesuap nasi. Ngga deng, demi kuota. Dasar milenial, wkwkwk.

Pergi pagi, pulang sore. Pergi ketemu macet, pulang ketemu macet juga. Begitu sampai rumah, kalau kata Upin Ipin, "penatlah...". Ibaratnya, datang ke tempat kerja untuk menanti jam pulang.

Cuma, kemarin saya keluar sebentar malam-malam untuk ke ATM, sekitar jam 9. Di sepanjang jalan menuju ATM, ada abang tukang bakso, ada abang gojek, juga ada abang tukang nasi goreng. Saya perhatikan gerobak abang bakso sudah kosong. Sang abang bakso melepas kaos yang sudah dia gunakan berkeliling seharian. Kalau mau membanding-bandingkan saya dan abang bakso tersebut, sudah pasti abang bakso tadi lebih capek. Saya hanya duduk di kantor di depan laptop sementara abang bakso harus berjalan berkeliling mendorong gerobak baksonya, mungkin dari pagi, hingga malam jam 9 saat saya lewat.

Kalau abang nasi goreng, gerobaknya kelihatan masih penuh. Mungkin belum lama keluar juga. Abang nasi goreng terlihat sibuk memasak nasi goreng pesanan pembeli. Tapi setahu saya, abang-abang nasi goreng gini biasanya dini hari jam 1 atau 2 masih berjualan juga.

Kemudian saya membatin, memang beginilah cara Allah mau memberi rizki pada hambaNya, ya. Perlu usaha, perlu upaya. Allah sendiri bilang dalam Alqur'an, 

“Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (At-Taubah: 105)

Allah suka dengan orang yang bekerja, beramal. Tentu dengan motif atau niat yang baik, ya. Abang tukang bakso dan abang nasi goreng tentu punya motif yang baik, beliau harus menunaikan kewajibannya kepada Allah berupa memberi nafkah kepada keluarga sebagai suami juga bapak.

Terus upaya saya? Hmm.. baru keluar dari zona nyaman sedikit sudah mengeluh. Baru bertemu dengan satu realita yang tidak seperti bayangan saya, sudah goyah. Padahal, mungkin justru ini rezeki saya, pelajaran tentang kehidupan yang tidak akan saya dapatkan kalau tidak bekerja seperti sekarang. Dan ya memang mungkin disinilah rezeki saya, dimana Allah ingin mengajarkan tentang memilih dan mengambil resiko.

Duhlah, apalah saya yang sedikit-sedikit mengeluh ini dibandingkan dengan abang bakso dan abang nasi goreng yang saya temui kemarin. Semoga rezekinya lancar ya, pak bakso, pak nasi goreng.

Jadi begini ya rasanya, kalau kata orang, jadi orang Jakarta :")

Komentar

Postingan populer dari blog ini

this post is dedicated to me

Iship sudah selesai!