Kepada Orang Tua : Menuju 25

"Andai, aku tlah dewasa... apa yang kan kukatakan untukmu idolaku tersayang..."

Sering banget ngga sih kita dengar dan nyanyikan lagu ini dulu pas zaman-zamannya film Petualangan Sherina lagi hits. Sampai saat ini lagu ini masih menjadi favorit saya. Tapi kalau menyanyikan lagu ini sekarang, di usia yang hampir 25, kok rasanya beda ya... Karena 'andai' yang menjadi kata pembuka lagu ini sudah menjadi kenyataan, bukan pada part apa yang akan dikatakannya, tapi pada kata 'dewasa'...

~

Kemarin Kamis, saya diminta bertugas untuk jaga poli umum tambahan karena kalau musim liburan gini biasanya pasien banyak sekali. Karena poli tempat saya jaga ini tidak mikrofonnya, jadi setiap memanggil pasien saya harus keluar pintu dan meneriakkan nama pasien selanjutnya. Setelah beberapa pasien berlalu, tibalah saya memanggil pasien yang membuat saya tergelitik untuk menulis postingan ini.

Sebut saja bapak K. Di rekam medis usianya ditulis 85 tahun. Perawakannya tinggi, namun karena usia, punggungnya sudah membungkuk. Rambutnya sudah putih semua, geliginya sudah tanggal meninggalkan gusi yang kini rata. Pengelihatannya sudah mulai kabur, dan ini yang kemarin beliau keluhkan. Pendengarannya juga sudah mulai berkurang. Bapak K ini kalau berjalan harus dibantu walker. Dan Bapak K ini, dari rumahnya hingga ke Puskesmas, berangkat seorang diri.

"Tadi ke sini naik becak, Mba. Nanti pulang ya saya naik becak lagi," begitu jawab beliau ketika saya tanya tadi bagaimana berangkatnya, tentu dalam bahasa Jawa yang sedikit banyak bisa saya mengerti. Lalu saya tanya kenapa tidak di antar anak-anaknya.

"Tadi saya sudah minta di antar, tapi katanya sibuk, di rumah lagi banyak pekerja jadi tidak bisa mengantar."

Subhanallah... Tidak sampai hati saya membayangkan Bapak K berjalan keluar Puskesmas dengan susah payah dengan hanya ditemani walkernya. Kemudian harus menyetop becak, lalu susah payah pula naik dan turun dari becak. Saya membatin, "Apa ngga menyesal ya nanti, anaknya Bapak K ini kalau Bapak K kenapa-kenapa ketika di jalan, atau ketika nanti sudah tidak ada?"

Tapi, buat apalah saya sibuk menghakimi orang lain ketika diri ini pun masih jauh lebih banyak cacat dan dosanya kepada orang tua...

~

"Andai, aku tlah dewasa, apa yang kan kukatakan untukmu idolaku tersayang, ayah...
Andai, usiaku berubah, kubalas cintamu bunda, pelitaku, penerang jiwaku dalam setiap waktu..."


Kurang lebih begitu dua baris awal lagu Andai Aku Tlah Dewasa yang dinyanyikan Sherina. Sekarang, saya sudah dewasa, tapi rasanya masih belum punya apa-apa untuk dikatakan kepada ayah saya. Sekarang, usia saya sudah berubah, tapi rasanya masih belum bisa membalas cinta ibu saya. Sekarang, saya sudah dewasa, tapi belum bisa mempersembahkan sesuatu setulus cinta dan kasih sayang orang tua saya.

Sekarang, rasanya malah ingin berandai-andai kalau saya bisa kembali menjadi anak-anak lagi, ketika dengan hal-hal kecil seperti menyanyikan lagu ini saja sudah bisa membawa kebahagiaan untuk ayah dan ibu. Masa dimana dengan menuruti tidak makan mie instan saja sudah melegakan hati orang tua. Masa dimana cukup dengan merapikan buku sendiri saja sudah sangat membantu pekerjaan ibu. Masa dengan mendapat ranking saja sudah sangat membanggakan kedua orang tua. Masa dimana setiap tangisan kita membuat ibu dan ayah kita merasa dibutuhkan, dan mungkin itu sudah lebih dari cukup menjadi bukti betapa kita menyayangi orang tua kita saat itu. Padahal saat itu, mungkin kita belum faham apa itu birrul walidayn, berbakti pada kedua orang tua.

Berbeda dengan ketika sudah dewasa. Kita tahu bahwa kita punya kewajiban untuk terus berbakti dan membahagiakan orang tua, tetapi pada kenyataannya kita selalu sibuk mengurus urusan diri sendiri. Semakin bertambah usia, semakin bertambah pula hal-hal lain yang harus kita selesaikan, semakin tersisih pula kewajiban untuk membahagiakan orang tua, meski dengan hal-hal kecil seperti menelpon lebih dulu, meletakkan uang meski tidak seberapa di dalam dompetnya diam-diam, memberikan ucapan-ucapan selamat hari ibu dan hari ayah, atau sekedar mendengar ayah ibu kita bercerita panjang lebar mengenai topik yang sama berkali-kali.

Rasanya, semakin kita mendewasa, berbakti kepada orang tua terlihat menjadi semakin sulit untuk dilakukan. Bagi yang kerjanya di kota yang berbeda, untuk pulang dan mencium tangan orang tua saja harus menempuh jarak dan waktu yang memisahkan. Untuk menemani orang tua berobat saja harus mengambil izin cuti dari kantor. Untuk bisa mendengarkan cerita orang tua saja harus melonggarkan waktu lebih agar pekerjaan lain tidak terbengkalai. Bahkan mungkin, untuk kepikiran mengenai orang tua saja butuh kata tiba-tiba. Tiba-tiba kepikiran orang tua.

Kenapa, ya, ketika masanya orang tua ingin selalu diperhatikan sebagaimana dulu mereka memperhatikan kita, justru kitanya sulit sekali memberikan perhatian itu kepada mereka? Padahal, meski kita sudah besar begini, orang tua selalu mendoakan kita. Agar kita sehat. Agar urusan kita selalu dimudahkan. Agar kita dipertemukan dengan jodoh yang baik. Agar selalu dikumpulkan bersama orang-orang yang baik pula, yang bisa mendekatkan kita kepada Allah.

Padahal, orang tua kita tidak butuh tiba-tiba untuk kepikiran kita, anak-anaknya. Ibu saya pernah cerita, "Kalau ummi lagi makan begini, suka kepikiran sama anak-anak di sana, makannya pada pakai apa, uangnya masih cukup atau ngga..."

Pun dengan ayah saya yang karena sadar anaknya perempuan, setiap kali saya pulang ke Jakarta, meski itu dini hari, pasti dijemput karena ingin menjaga keamanan dan keselamatan saya.

"Kamu merawat ibumu sambil mengharap kematiannya, sedangkan ibumu merawatmu sambil mengharap kehidupanmu." (Umar bin Khattab)

Cukuplah kata-kata Umar ini menjadi tamparan untuk saya secara pribadi dan kita semua. Semoga kita tidak menjadi orang-orang yang menyesal di kemudian hari karena tidak bisa memberikan bakti terbaik kepada kedua orang tua...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

this post is dedicated to me

Iship sudah selesai!