Jadi Dokter (?) #1

Kalau dihitung-hitung, sudah enam tahun lebih saya berkecimpung dengan dunia kedokteran. Kalau masuk fk dulu tahun 2012, berarti sampai agustus 2019 besok insyaaAllah sudah 7 tahun saya ada di tengah-tengah komunitas tenaga kesehatan.

Sejak kecil, saya sama sekali tidak pernah ingin menjadi dokter. Saya maunya jadi guru saja, atau jadi psikolog saja. Bahkan sampai SMA akhir-akhir saya masih inginnya masuk psikologi. Sempat diterima di psikologi UNS, tapi karena orang tua belum mengizinkan akhirnya terpaksa saya batalkan.

Orang tua saya juga tidak pernah meminta saya untuk menjadi dokter. Saya rasa, ummi dan abi sebenarnya melihat saya punya potensi, tetapi mengingat kondisi ekonomi keluarga saat itu, sekolah kedokteran terdengar utopis.

Saya juga tidak tahu dari mana saya bisa kepikiran untuk sekolah kedokteran. Padahal saya ngga suka melihat orang berantem sampai berdarah-darah, ngga suka lihat kekerasan, ngga suka lihat yang sadis-sadis, ngga suka lihat orang kecelakaan, dan sebagainya. Kalau difikir-fikir, saya juga masih bingung apa yang membuat saya tiba-tiba berbalik 180 derajat dan memilih masuk kedokteran.

Apa mungkin, karena ummi dan abi ngga mengizinkan saya sekolah jauh-jauh kecuali di kedokteran, ya?

Atau mungkin, cuma karena iseng-iseng ingin menguji kemampuan diri sendiri, ya?

Apa mungkin, cuma ingin menunjukkan ke orang-orang yang saat itu memandang remeh ummi dan abi yang (memang) biasa saja ternyata bisa menjadikan anaknya seorang dokter?





Hm, mungkin yang terakhir.





Hmm, mungkin semuanya.



Saya ingat betul bagaimana ummi waktu itu menangis haru saat saya diterima di fk ugm. Abi, waktu itu sedang tidak di rumah, jadi hanya dikabari lewat HP. Tapi saya yakin sama harunya.

Padahal, sayanya sendiri masih ragu-ragu terhadap pilihan saya. Orang-orang sering bilang, lakukan apa yang kamu cintai, cintai apa yang kamu kerjakan. Saat itu, saya bertanya-tanya kepada diri sendiri, apa saya bisa mencintai dunia kedokteran yang sebelumnya tidak ada dalam daftar imipian saya? Nisa Karima berusia hampir 18 tahun.



Lalu, 7 tahun berlalu. Lalu, jadilah saya yang sekarang.





Masa depan itu...misterius sekali ya... Bikin takut. Bikin khawatir. Tapi setelah dijalani, takutnya kita itu (atau saya saja kali ya), kadang terlalu berlebihan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

this post is dedicated to me

Iship sudah selesai!